Selasa, 18 April 2017

Kalau sampai waktuku aku ingin segera pulang dengan semua penantian...

Aku Ingin, SEGERA!
Jarum jam seakan menegurku tuk berhenti memerhatikannya
Aku lihat ada kesal teramat dalam yang dibahasakan suaranya
tapi,  sungguh
kali ini aku ingin detik segera menggapai menit, lalu menarik jam hingga berlari menuju hari
Aku ingin segera berlayar di lautan rindu tak bertepi
bersama orang-orang yang kucintai
Aku ingin segera menumpahkan gelora rindu
di balik dawai kasih-sayang ibu
..........
Ramadhan
Aku di sini tuk ada di sana
segera bawa aku
Yogyakarta, 8 Agustus 2012 M/20 Ramadhan 1433 H

Puisi di atas adalah sebuah peraduan rindu dan penepian penantian kepada kedua orangtua dan juga saudara-saudaraku. Pada bulan puasa 1433 H kali ini, aku baru bisa bersua wajah-wajah mereka saat Ramadhan merangkak pergi menuju tangga ke-24. Ini bukan kali pertama bagiku merasakan semua ini, setelah sebelumnya aku juga menghiasi keistimewaan bulan Ramadhan jauh dari mereka, bahkan di Hari Idul Fitri-nya ku tak berada bersama mereka.
Aku menempuh perjalanan 2 hari 2 malam untuk sampai di Jambi, setelah itu ada 4 sampai 5 jam lagi untuk bisa menginjakkan kaki di depan rumah. Hingga pada akhirnya aku memutuskan tuk istirahat sebentar di tempat temanku, di Muaro Jambi. Keesokan harinya, sesuai rencana aku akan dijemput oleh kakak iparku dengan menggunakan mobil sederhana.  
Kelam tampak telah menyatu bersama malam, bintang-bintang seolah berjejer membentuk formasi kekuatan dan juga kudengar senandung shalawat saling mengakrabi dengan shalat taraweh.  Tepat pukul 08.30 WIB aku  tiba di depan rumah dengan pakaian rapi dan wewangian melingkupi tubuhku, berjalan gagah dan senyum bergelora.   
Di sana kusaksikan selatsa wajah dari Ebakku yang tampak keriput, matanya juga tampak kabur, badannya yang mulai membungkuk, tangannya yang kulihat tremor dan sering mengeluh pusing. Ya! Hipertensi semakin hari semakin ingin bersahabat dengannya, bahkan semakin ingin membawa shahabat-shahabatnya tuk sekedar lewat, nongkrong atau memang tinggal di dalam tubuh Ebakku.
Di sebelah Ebak kulihat ada seorang wanita tua dengan baju yang tampak lusuh. Seingatku baju itu sudah ada sejak aku duduk di bangku MTS. Dia juga menyarungkan sehelai kain yang tampak sobek di bagian ujungnya dan mengenakan sandal jepit. Dari dekat semakin jelas kulihat mukanya yang pucat dan badannya  tampak sangat kurus. Dia adalah Emakku. Di tengah-tengah semua yang kulihat aku masih bisa merasakan sambutan penuh kehangatan dari keduanya.
Semua belum berakhir begitu saja. Tepat Hari Raya Idul Fitri yang ketiga aku merasakan pilu di antara kenangan masa lalu orangtuaku. Aku berjumpa dengan abang-abang dan ayukku melalui untaian Surat Yasin yang dibacakan di samping batu nisan mereka. Mereka yang selalu kucinta, walau sekalipun tak pernah bertatap mata tersebut adalah, abangku Musmul Yadi yang meninggal di usianya menginjak 5 bulan, abangku Rudi Hidayat di usianya 3 bulan, kedua kakak kembarku yang meninggal dalam kandungan, dan   terakhir adalah ayukku Ratna Dewi juga ikut menyusul menggoreskan nama di batu nisan saat usianya berjalan 5 tahun.
Kini hanya aku dan ayukku Ramaita yang diharapkan bisa menjadi peretasan masa depan kedua orangtuaku. Akan tetapi sebagai wanita yang kini sudah memiliki anak tiga, langkah kakinya semakin terbatas tuk menghapus kenangan lama serta membawa mimpi-mimpi mereka.
Kalau sampai waktuku, aku ingin pulang dengan semua penantian emak, ebak, abang dan ayukku.
Yogyakarta, 16 Seftember 2012
  Inilah ketiga makam saudara-saudaraku. Dari mulai yang paling depan adalah Musmul Yadi (5 bulan), tengah-tengah adalah Ratna Dewi (5 tahun) dan yang paling ujung adalah Rudi Hidayat (3 bulan).