Minggu, 28 Agustus 2016

Asal-Usul Desa Tuo Ilir

 Sepasang suami-istri berperahu melintasi teluk napal belang. 28/08/16
 SIKAPUR SIRIH
Assalamu’alaikum Wr. Wb
JPC- Kini iko sayo indak mencubo membongkar teras nan terendam, menghidupkan jugo ranting nan mati. Mano nan lapuk indak diperbaharui, mano nan usang indak diperbaiki. Patah pual tumbuh jalupung, patah kayu tunas buganti. Maknapuh di ujung tanjung, mati sikok buganti sikok. Kito belum mengopak adat; pandang pinang sudah pongkak, pandang kelapo sudah gayut. Gagak lagi hitam, kuntul lagi putih, sudah basundut idak barubah di atas tempat. (Seloka Jambi)
Cerita ini menurut temboh nan batembih, piagam nan batambung, undang nan baundi; Pertama, temboh ialah cerita yang dituliskan oleh nenek moyang dahulu di kertas sebagai penentu asal-usul kita, kedua, tembih yaitu mendengar cerita  dari nenek moyang dahulu. Dan ketiga dinamakan piagam, yaitu untuk menentukan batas daerah, batas di dalam kampung, batas di dalam rumah, dan batas dalam menentukan antara adat dan syara’.
Dalam  tulisan ini saya memcoba memaparkan asal-usul kejadian desa saya tercinta, Desa Tuo Ilir. Desa yang lebih populer dengan sebutan Dusun Tuo ini diapit oleh dua desa, yaitu  DesaTeluk Rendah dan Desa Peninjauan. Dinamakan Desa Peninjauan karena dulu pernah dijadikan oleh kompeni Belanda untuk meninjau segala aktivitas masyarakat ketika mereka keluar dari Sungai Muara Tabir. Selain itu desa tanah kelahiranku ini juga menjadi tapal batas antara Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari yang ada di Provinsi Jambi. Desa yang diperkirakan telah ada sejak tahun 1575 ini, kini telah dihuni kurang lebih 1300 KK(Kepala Keluarga).
Pemukiman warganya berada di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Di ujung hilir  seberang desa ini terdapat  muara dari Sungai Muaro Tabir dan tak jauh dari seberang desa ini pula terdapat hutan rimba yang sampai saat ini masih menjadi rumah bagi Suku Anak Dalam alias Kubu. Walau memang saat ini hutan telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan karet, tetapi mereka masih tetap setia bernaung di dalamya.
Hampir keseluruhan masyarakatnya mengantungkan hidup dari sektor pertanian, sedangkan sisanya menjadi pedagang dan pegawai. Cerita yang ada di hadapan Anda sekarang ini didapat dari penuturan secara lisan  seorang pemuka adat bernama Pak Tamin yang ada di Desa Tuo Ilir.  
Cerita ini bisa saja sebuah legenda atau dongeng yang coba dibuat-buat, namun bisa juga sebuah kisah nyata yang benar-benar terjadi di Desa Tuo Ilir. Hingga saat ini setidaknya ada beberapa  jejak peninggalan peristiwa yang masih bisa kita temukan, yaitu 6 dari 7 makam anak dari keturunan Palimo Amin. Palimo Amin sendiri adalah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Desa Tuo Ilir, sedangkan anak beliau yang paling bungsu konon katanya masih hidup hingga sekarang, hal ini dikarenakan permintaan darinya untuk menjadi dewa.
Cerita kedewaan dari anak Palimo Amin yang bernama Nenek Rabiya ini berkembang bukan hanya di Desa Tuo Ilir, akan tetapi  juga melegenda ke masyarakat Pariaman (Sumatera Barat), bahkan beberapa orang masyarakat Bukit Tinggi(Sumatera Barat). Selain itu senjata pusaka seperti tombak yang digunakan Rd. Ketek Pendekar Halus untuk membunuh Beruk Berayun-baru beberapa tahun belakangan ini sudah tak terlihat  dan masih banyak lagi bukti-bukti peninggalan lain yang bisa jadi mendukung kebenaran cerita ini.
Demikian sedikit kata yang dapat saya sampaikan. Semoga cerita di bawah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita semua, terlebih lagi buat masyarakat Desa Tuo Ilir agar senantiasa tidak melupakan sejarah yang telah membentuk perkampungan istimewah ini- bagi kita untuk menyambung hidup, meniti asa serta merajut persaudaraan. Selamat membaca!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

 
 Makam M. Sukur salah satu orang yang dikeramatkan. 28/08/16

I. ASAL-USUL KEJADIAN DESA TUO ILIR
Pada zaman dahulu kala tersebutlah di seberang hilir Desa Teluk Rendah atau seberang hulu Desa Tuo Ilir sekarang  terdapat sebuah Sungai Kembang Bungo yang mana telah berdiri 5 buah rumah di sana. Di dalam temboh menyebutkan, kalau orang yang ada di situ adalah Alim Mukmin.
A.    Alim Mukmin dan Palimo Amin
Pada suatu hari Palimo Amin melayarkan perahu di Sungai Kembang Bungo  dan seketika itu dia melihat ada pemukiman Alim Mukmin. Maka pada akhirnya dia pun singgah dan menemui seorang yang bernama Alim Mukmin tersebut
“Oh, Tuk! Boleh tidak sayo numpang munginap malam ini di sini?”. Kata Palimo Amin
“Lah! apo salahnya. Kamu ini berasal dari mano?”. Jawabnya
“Sayo ini berasal dari Minang Kabau”. Jawab Palimo Amin kembali
“Woi! Ambo orang Minang Kabau jugo. Kamu mencari makan di siko sajo”. Tawar Alim Mukmin
            Palimo Amin menerima tawaran Alim Mukmin untuk tinggal bersama-sama dengannya. Namun beberapa hari setelah itu Alim Mukmin menyampaikan keinginannya kepada Palimo Amin.
            “Besok ambo mau mencari tanah untuk berkebun. Kau mau mencari tanah di mano?”. Kata Alim Mukmin
            “Aku mau mencari teluk yang tinggi(Sekarang dikenal dengan Napal Belang)”. Palimo Amin
            Kalau aku teluk yang rendah sajo”. Jawab Alim Mukmin


B.    Dari nama Taratak, Padokoh, Koto Damingger, Dusun Duo, hingga Desa Tuo Ilir
Begitu banyak nama yang pernah melekat pada desa yang kini lebih dikenal dengan nama Desa Tuo Ilir. Nama-nama yang diambil bukan tanpa beralasan, akan tetapi atas dasar peralihan kebiasaan sehari-hari sampai dengan kondisi geografis yang telah berubah dan berkembang pada saat itu. Berikut adalah nama-nama yang pernah ada sebelum akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo Ilir:

1.     Alim Mukmin dan Palimo Amin dengan tanaman sayurannya
            Mulai pada hari itu juga mereka berpisah dan menuju lokasi yang dimaksud. Alim Mukmin mulai menyambung hidup dengan berkebun sayur-sayuran, seperti bayam, singkong, katu, dll di teluk yang rendah tersebut(Sekarang tempat itu tepat di masjid Teluk Rendah Seberang Bagian Hulu dan di atas rumah guru Zahari).
Dari sana Alim Mukmin berinisiatif untuk menamai tempat yang dia diami saat itu dengan sebutan Taratak. Sedangkan Palimo Amin yang memilih tinggal di teluk yang tinggi(Napal Belang) juga melakukan hal yang sama. Dia berkebun sayur-sayuran dan juga menyebut tempat tinggalnya dengan nama Taratak. 

2.     Alim Mukmin dan Palimo Amin dengan kebun kelapa, durian, dan dukunya
            Seiring berjalannya waktu, mereka kembali sama-sama memamfaati lahan yang mereka tempati dengan berkebun. Namun kali ini mereka menanam kelapa, duku, dan durian di tanahnya masing-masing. Tumbuhan-tumbuhan itu pun kini tumbuh tinggi menjulang, daun-daunya juga mampu memberi kesejukan dari terpaan sinar mentari, buah-buahnya melengkapi rasa manis kehidupan yang mereka rasakan serta akar-akarnya yang mampu mengikat tanah untuk tidak memisahkan diri dari tempatnya.
Berawal dari tanaman yang bersifat bulanan hingga berpindah ke tanaman menahun, dari sana  pula Alim Mukmin dan Palimo Amin kembali mengganti nama Taratak dengan sebutan Padokoh.
3.     Alim Mukmin dan Palimo Amin dengan musholla dan pegawai adatnya
Kedua tempat tinggal yang didiami Alim Mukmin dan Palimo Amin  semakin hari semakin ramai dan berkembang.  Hingga berdirilah di sana sebuah musholla sebagai tempat untuk bersatu, yaitu menyatu dengan Allah melalui kekhusu’an shalat dan juga antarsesama masyarakat dalam sentuhan silaturrahmi.
Terbentuk pula pegawai adat yang mampu mengurus tempat tinggal mereka. Semua bentuk perselisihan dan kesalahpahaman mereka putuskan dengan keadilan, lalu mereka juga mampu mengurus keretakan dalam rumah tangga dengan olesan percintaan. Perubahan nama desa kembali dilakukan Alim Mukmin dan juga Palimo Amin. Alim Mukmin dengan nama Teluk Rendah, sedangkan Palimo Amin mengantinya dengan Koto Damingger.
Sei. Bengkal yang sekarang menjadi kecamatan  kedua desa ini dulu bernama Renah Tanjung Dibungo. Dahulu katanya pernah ada Datuk Manurai Besi dan isterinya Mekcinai Lewat yang tinggal di dalamnya. Konon katanya Mekcinai berasal dari pintu langit yaitu, babenak diampo kaki, bajiwo diujung kuku. Dia adalah anak dari Datuk Sai Panjang Janggut. Dan sebelum Teluk Rendah sekarang, dulu juga ada namanya Gunung Bungsu.

4.     Palimo Mukmin dan Anak-anaknya
Baik Alim Mukmin ataupun  Palimo Amin kini telah sama-sama memiliki anak-anak yang besar dan mulai berkeluarga. Palimo Amin memiliki 6 orang anak laki-laki dan hanya satu anak perempuan. Dari mulai anak yang paling sulung hingga paling  bungsu ia beri nama; Kemuneng, Tais, M. Syukur, Tanglung, Rd. Ketek Pendekar Halus alias Darah Putih, dan anak keenam yang makamnya berada di Muaro Bernai masih coba diingat-ingat namanya. Sedangkan anaknya yang terakhir  bernama Nenek Rabiyah.
Disebutkan bahwa salah satu dari anak Palimo Amin yang bernama Tais memilih tinggal ke seberang (Sekarang dikenal dengan Batu Ampar), tempat tinggal yang didiami Tais  juga berkembang sangat cepat, bahkan terdapat masjid dan pegawai adat seperti yang ditempati ayanya dan saudara-saudaranya di Napal Belang.
Melihat perkembangan dari Napal Belang dan Batu Ampar yang semakin pesat, Palimo Amin, Tais, dan saudara-saudaranya yang lain melakukan rapat untuk mengganti nama tempat tinggal mereka. Diputuskan dalam rapat tersebut Koto Damingger  diganti pula dengan nama Dusun Duo. Sedangkan Alim Mukmin tetap menggunakan nama Teluk Rendah. 

5.     Kepalo Barau
Beberapa tahun kemudian Tais yang tinggal di Batu Ampar mengadakan resepsi pernikahan anaknya. Dia bahkan mengundang orang-orang hingga ke Aek Hitam untuk memasak dalam acara pernikahan tersebut. Celakanya, walau telah mengundang tukang masak(cheef) dari Aek Hitam masakan mereka tetap terasa tidak lemak.
Tais sebagai salah satu orang bertanggung jawab dengan keadaan itu meminta untuk dijemput Kepalo Barau ke seberang(Napal Belang). Kepalo Barau sendiri diyakini bisa untuk melemakkan masakan. Setelah Kepalo Barau tersebut dimasukan dalam masakan, ternyata masakan yang mereka buat  berubah menjadi lemak. Namun mereka lalai untuk menjaga Kepalo Barau, karena saat mereka memasukkan Kepalo Barau yang kedua belas kalinya mereka tak lagi mengeluarkannya dari masakan yang sedang mendidih tersebut, akhirnya Kepalo Barau itu hancur. 

6.     Raden Ketek Pendekar Halus dan Beruk Berayun
Kepalo Barau yang tadinya hancur saat pernikahan anak Tais memang belum menjadi permasalahan di antara warga-warga Napal Belang dan Batu Ampar. Akan tetapi permasalahan justru lebih dulu datang  dari orang-orang  Pematang Limau dan Pematang Taboh. Pematang Limau dan Pematang Taboh yang kini lebih dikenal dengan Kejasong ini, dulu katanya sangat ramai sekali orang yang melewatinya. Bahkan saking ramainya saat ada yang membentangkan kulit kerbau di jalannya saja, tak lama berselang kulit itu menjadi tipis karena pijakan kaki.
Sewaktu itu orang-orang Pematang Limau dan Pematang Taboh dikacaukan oleh ulah seekor Beruk Barayun saat berjalan menuju ke Aek Hitam dan menurut penuturan mereka telah ada 99 orang yang menjadi korban keganasan Beruk Berayun ini.
Mereka menemui Palimo Amin dan dubalang-dubalang yang ada di Dusun Duo atau lebih tepatnya di Napal Belang untuk membunuh Beruk Berayun yang begitu banyak mengakhiri hidup warga-warganya. Palimo Amin yang saat itu diharapkan untuk menyelesaikan masalah tak tahunya  lagi sedang mengalami sakit.
Di saat keputusasaan dan kepasrahan mulai hinggap dalam harapan warga-warga yang datang ke rumah Palimo Amin. Radek Ketek Pendekar Halus, yaitu anak Palimo Amin yang kelima yang baru berusia 3,5 tahun menawarkan diri mengganti ayahnya untuk membunuh Beruk Berayun yang terkenal begitu ganas tersebut.
Palimo Amin yang sedang terbaring sakit  tidak mampu menolak niat baik yang diminta anaknya. Dia cuma menawarkan keris, tombak, dan pedang untuk menjadi kekuatan. Akan tetapi selain berbekal doa restu Raden Ketek Pendekar Halus hanya meminta pada ayahnya pedang, dulang, dan 7 buah pisang. Selain itu ia juga meminta pada ibunya untuk ditanami selaseh di halaman rumah. Tujuannya adalah; “kalau tanaman selaseh itu layu berarti ia sakit, kalau tanaman selasehnya sehat berarti ia juga sehat dan bila tanaman selasehnya mati berarti saat itu ia juga mati”.
Keesokan harinya Raden Ketek berangkat menuju Pematang Limau dan Pematang Taboh. Di sana ia  berjumpa begitu banyak orang yang bertanya perihal kedatangannya dan tak jarang pula mereka meragukan kemampuaan yang dimilikinya.
“Apa kau kulup yang mau membunuh Beruk Berayun yang ado di siko?” Tanya seorang warga.
“Aih tidak, Tuk!... Sayo cuma mau melihat-lihat sajo. Dak mau membunuh dak”. Jawab Raden Ketek seraya menundukkan kepala.
“Di kaki kau itu banyak nian pacat, Lup!” Tanya ia kembali
Menanggapi pertanyaan di atas Raden Ketek mengambil pedangnya, lalu membunuh pacat-pacat yang melekat di betisnya. Alangkah kagetnya orang tesrsebut, ketika melihat darah yang menetes dari betis Raden Ketek Pendekar Halus berwarna putih. Semenjak kejadian itu pula orang Pematang Limau dan Pematang Taboh mengenalnya dengan sebutan Si Darah Putih.
 Raden Ketek Pendekar Halus terus meneruskan langkahnya . Saat di tengah perjalanan ia kembali bertemu seorang warga dan menanyakan hal yang sama.
“Apo  kau kulup yang mau membunuh Beruk Berayun?. Jangan kulup cobo kau tengok datuk membelah bambu mayang enam ruas ko hanya dengan tangan, alangkah itu tidak berani melawan Beruk Berayun. Lah! apo lagi kau budak kecik, nanti kau cumo jadi kotoran dio sajo”. Sambung ia pula
“ Idak lah, Tuk! Sayo cumo mau nengok-nengok sajo”. Jawabnya sembari tersenyum dan diikuti dengan merunduk.
Raden Ketek Pendekar Halus sedikit pun tak pernah gentar untuk bertemu Beruk Berayun. Ia berencana untuk terlebih dahulu mampir di rumah Kepala Desa Pematang Limau. Namun sebelum sampai di sana seorang warga kembali menegurnya.
“Apo kau kulup yang membunuh Beruk Berayun?. Jangan kulup datuk ko Palimo di Pematang Limau, cobo pulo kau tengok datuk mengupas kelapo ini hanyo dengan tangan kosong sajo. Alangkah itu dak berani membunuhnyo”.
“Idak lah, Tuk! Sayo cumo mau nengok sajo. Dak mau membunuh dak”. Jawab Raden Ketek Pendekar Halus dengan kata sama dan juga sikap yang sama.
Sebelum sinar mentari seutunya tenggelam dalam gumpalan awan-awan putih dan kelam datang menyapa Raden Ketek telah sampai di teras rumah Kepala Desa. Warga-warga pun berdatangan melihat anak mungil yang katanya bakalan menghentikan keperkasaan Beruk Berayun di desa mereka.
“Kau ko berapo umurnyo, Lup?”.Tanya salah satu warga yang hadir
“Umur sayo 3,5 tahun. Sayo  cumo mau nengok-nengok Beruk Berayun sajo.  Dak mau membunuhnyo dak”. Jawabnya merendah diri
Pagi harinya,  saat di mana terang  tampak sudah tak lagi menyisakan ruang tuk kelam. Tepat sehabis sarapan pagi Raden Ketek Pendekar Halus berangkat menuju lokasi keberadaan Beruk Rayun dengan ditemani beberapa warga. Setelah sekian lama berjalan, kira-kira jarum jam bergeser ke titik 12 ia sampai di tujuan. Sedangkan beberapa warga yang tadinya ikut hanya mengantar sampai perbatasan hutan.
Kedatangannya seolah sudah ditunggu-tunggu. Sang Beruk Berayun langung berpijak di akar-akar yang merambat pada pepohonan. Raden Ketek Pendekar Halus yang mengetahui kehadiran Beruk Berayun, segera menyiapkan dulang dan memposisikan di atas kepalanya. Beruk Berayun yang ingin sesegera mungkin membunuh langsung menancapkan tombak di ubun-ubun kepalanya. Akan tetapi tombak tersebut hanya menghantam dulang, sedangkan kepala Raden Ketek Pendekar Halus tak tergores luka sedikit pun.
Dia lalu mencabut tombak dari dulang, menurut Piagam; sampai setengah lutut kaki Raden Ketek Pendekar Halus masuk ke tanah untuk mencabut tombak tersebut. Setelah tombak berhasil ia lepas, ia lalu mengambil pisang dalam uncang(tas kecil) dan ditusukkan ke ujung tombak. Pisang yang kini lengket di tombak disodorkan ke Beruk Berayun, tanpa tersadar si Raden Ketek Pendekar Halus hendak mencelekainya, ia lalu mengambil pisang tersebut. Namun begitu pisang diambil Sang Beruk Berayun pada uluran yang kedua, Si Raden Ketek lalu dengan tangkas menusukkan tombak tepat di dadanya. Beruk Berayun jatuh dan akhirnya mati. 
Beruk Berayun terkapar di tanah dengan dada tertancap tombak. Darah Putih alias Raden Ketek Pendekar Halus lalu mengambil senjata terakhirnya yaitu pedang untuk mengambil telinga dan ekor si Beruk Berayun dan dimasukkan ke dalam uncang, sedangkan kepalanya digantung pada pohon sebekal. Menurut cerita kebanyakan orang, pohon itu melengkung menahan beban dari kepala Beruk Berayun. Dan menurut Piagam sendiri; tak kurang dari 45 kg berat dari kepala Beruk Berayun tersebut.
Siang itu pohon-pohon tampak seolah berdiri gagah, mentari bersinar dengan bangga, kicauan burung bernyanyi ria serta diikuti hembusan angin nan manja. Anak mungil 3,5 tahun ini lalu balik menuju ke Pematang Limau. Sesampai di sana ia disambut dengan berbagai pertanyaan.
“Apo kabar, Lup? Mati dak Beruk Berayunnyo?”. Tanya mereka serentak
“Yo dak lah! Sayo cumo nengok-nengok sajo ke sano ”
“Dak tu memang ngota nian dubalang-dubalang tadi, katonyo kau bakalan membunuh Beruk Berayun itu”. Jawab salah seorang kakek seraya tersenyum sinis
“Tapi sayo ado iko Tuk bawa telingo dan ekor Beruk Berayun. Nah! Iko dio barangnyo”. Jawab Raden Ketek Pendekar Halus sambil memperlihatkan barang yang kini ada di tangannya.
Sontak saja si kakek tua diam membisu dan tertunduk malu, tak terkecuali setiap orang yang hadir di tempat itu tampak seolah tak percaya menyaksikan kehebatan si Raden Ketek Pendekar Halus. Kepala Desa yang juga duduk di antara warga-warga lalu meminta kepadanya untuk tinggal sementara selama seminggu di Pematang Limau, setelah itu baru diizini pulang ke Dusun Duo.
Sebaliknya Palimo Amin yang berada di Dusun Duo terus menyimpan berjuta keresahan terhadap keselamatan Raden Ketek Pendekar Halus. Di tengah lamunan dia teringat pesan anaknya, andai ingin mengetahui kondisi anaknya apa dalam keadaan sehat, sakit, ataupun mati, maka ia bisa melihat kondisi selaseh yang ditanam di depan halaman rumah. Dan alangkah bahagianya Palimo Amin ketika mengetahui tanaman selaseh dalam keadaan sehat. 

7.     Nenek Rabiyah Menjadi Dewa
Tak lama berselang setelah kejadian pembunuhan Beruk Berayun oleh Raden Ketek Pendekar Halus. Kini masalah justru datang di tengah keluarga Palimo Amin sendiri. Nenek Rabiyah yang merupakan anak bungsu sekaligus putri satu-satunya kerap kali menunjukkan perilaku yang aneh. Hingga sampai pada suatu ketika perilaku itu menarik perhatian Kemuneng sebagai kakak tertua untuk bertanya.
“Kau ini kenapo Rabiyah masak nasi dak mau? Dari tadi kuperhatikan kau jugo main bungo sajo terus. Apo kau memang mau menjadi dewo yo?”. Tanya Kemuneng dengan sedikit agak serius
“Kalau kini iko, Bang! Sayo memang dak nian menjadi dewo” Jawab Nenek Rabiyah seolah telah menunggu sekian lama pertanyaan ini
“Yo lah! Kalau memang macam itu mau kau. Nah! besok senin iko boleh abang antar kau ke Payoh Membek(Sekarang dikenal dengan Lebak Takar)”. Kemuneng mencoba untuk memberi jalan kepada Nenek Rabiyah
“Kalau macam itu kato abang, yo basenglah!” Ia menimpali seraya membayangkan diri telah menjadi dewa
“Kalau kau mau menjadi dewa nian, Dik! Hari senin depan abang akan buang tombak iko ke Lubuk Napal Belang. Bilo kau biso ngambil tombaknyo, kau baru biso kami izini menjadi dewa”. Sambung Raden Ketek Pendekar Halus memecah ketegangan antara keduanya
Hari senin kini telah tiba. Sesuai kesepakatan Raden Ketek  Pendekar Halus berdiri dipinggir tebing ditemani abang-abangnya yang lain untuk membuang tombak ke Lubuk Napal Belang, sedangkan Nenek Rabiyah juga tampak bersiap-siap untuk segera melompat begitu tombak itu meluncur menembus air. Dengan dandanan rapi dan pakaian yang indah Nenek Rabiyah melompat dari tebing. Dia menyelam mengikuti tombak di Lubuk Napal Belang dan timbul di Batu Ampar, lalu ia menyelam berbalik arah  dengan tombak yang telah dipenuhi udang. 
Dia kembali ke rumah menemui abang-abangnya. Dan dengan bangga menunjukkan tombak yang kini ada di genggamannya.
“Ini bang tombak yang abang lempar lah penuh dengan udang”. Ia memerlihatkan ke hadapan abang-abangnya
“Kini iko dik masak lah dulu udang itu. Kami mau makan perbuatan kau untuk yang terakhir kalinyo”. Kemuneng mencoba tuk menguasai diri tuk menahan kesedihan
Sontak saja mendengar ucapan Kemuneng seperti itu ia bergegas melakukannya. Setelah memasak ia menuju ke Tebing  Napal Belang dan menyuarakan beberapa buah pantun untuk melukiskan kegembiraan sekaligus kesedihannya. 

Manyalak sarang  elang
Tajuluk ular sawo
Tinggallah teluk Napal Belang
Rabiyah ndak menjadi dewo

Menebang batang seredang
Rebah ke tepi payoh
Tinggallah olak nak gedang
Rabiyah iko ndak menjadi dewo

Pucuk kankung di tengah laman
Anak ikan di dalam paringgi
Tinggallah kampung tinggallah halaman
Tinggal tepian tempat mandi

Pantun-pantun itu kini telah bertebaran menyusuri peraduan kenangannya masing-masing. Rabiyah lalu naik ke rumah dan makan. Kemudian Kemuneng sebagai kakak tertua yang menggantikan ayahnya Palimo Amin berucap.
“Jadi kini, Dik! Kalau kau mau menjadi dewa nian, bersiap-siaplah boleh abang antar ke darat”. Seakan ada sesak yang teramat berat baginya tuk merelakan adik perempuan satu-satunya.
“Aku mau menjadi dewa, abang-abang tinggallah di rumah yo”. Ia berkata seolah sudah tak ada kesedihan lagi, seperti apa yang dirasakan abang-abangnya karena harus berpisah darinya tuk selamanya.
Pada hari itu semua  ikut mengantarnya, kecuali Tais.  Ketika berada di balik  rumah, Rabiyah berpantun sambil memegang bunga-bunga nan cantik pujaannya.
Kini iko basenglah menanam mumbang
Kalau tumbuh tuah negeri
tingggallah kau kembang
Rabiyah dak akan datang lagi

Tak sampai di situ. Nenek Rabiyah juga mendekati  bunga-bunga lain yang tumbuh agak jauh di belakang rumahnya. Ia lagi-lagi berpantun.

Ambil daun buganti daun
Daun dilipat di atas dampar
Habis tahun buganti tahun
Dusun iko panjangnyo melampaui Batu Ampar

Berselang beberapa jam setelah itu mereka sampai di Payoh Membek. Dan kemuneng menyampaikan sebuah kata terakhir mewakili keharuan saudara-saudaranya yang lain. “Kalau kau mau menjadi dewa nian Rabiyah, yo jadi dewalah. Kami semuo iko dak balik ke rumah lah”. Dan  hanya lewat anggukan kepala dari Nenek Rabiyah, mereka hari itu berpisah.
Pada malam harinya kelima abangnya berada dalam kegelisahan, kedua kelopak bola mata mereka sama-sama sulit tuk terpejam, mereka terbayang si adik tersayang. Kemuneng lalu mendiskusikan masalah ini pada adik-adiknya yang lain.
“Abang dak biso tidur semalam mengenang adik kito Rabiyah” Kemuneng mengawali pembicaraannya
“Kalau macam itu, Bang! Besok sehabis sarapan pagi kito turut dio pulo ke darat”. Jawab Raden Ketek Pendekar Halus.
Keesokan paginya mereka berusaha bersama-sama menemukan adiknya. Dan alangkah kagetnya mereka, karena di tempat itu mereka tak lagi menjumpai siapapun. Secercah harapan seakan hadir, ketika tiba-tiba terdengar oleh mereka suara Nenek Rabiyah memanggil. Seakan tak mau kehilangan kesempatan kedua kalinya, maka Raden Ketek Pendekar Halus segera mencari sumber suara tersebut.
“Di siko kau yo, Dik! Turunlah dik dari atas itu, ikutlah dengan kami lagi. Kami iko sayang nian samo kau”. Raden Ketek Pendekar Halus tampak seolah mengulurkan tangannya.
Dia turun ke bawah dan berkata,“Idak bang, Rabiyah dak bakal balik lagi”
Raden Ketek Pendekar Halus mencabut pedangnya, lalu membelah akar-akar tuk dijadikan buaian. Ia juga meminta kepada saudara-saudaranya yang lain untuk membelah pada bagian ujungnya.
“Kalau macam itu kemauan kau. Kini iko kau masuklah ke dalam buaian yang abang  buat iko nanti” Kata Si Raden Ketek Pendekar Halus.
Yo Bang! Sayo jugo punyo perjanjian yang harus dipatuhi masyarakat-masyarakat yang kelak tinggal bersamo abang. Kalau di dusun kito diserang wabah penyakit, mako cucu dan cicit  kito diberi tando gelang tiga warno dan harus memakai cincin yang terbuat dari ijuk.
“Oh yo! Bukan itu sajo, kalau ado harimau dak boleh dibunuh, buayo dak boleh dibunuh, kalau diam di ladang, dak boleh menggunakan pintu tikar, selain itu dak boleh membelah tunggul untuk dijadikan kayu api. Itu lah perjanjian kito, jangan sampai ado yang menyalahinyo”. Sambung Nenek Rabiyah pula
Nenek Rabiyah masuk ke dalam akar dan kira-kira dihitungan ketiga Nenek Rabiyah sudah menghilang dari hadapan saudaranya-saudaranya. Dan mulai saat itu mereka berpisah tuk selama-lamanya. Sedangkan kelima abangnya balik ke rumah.
Menurut Temboh, Tembih, dan Piagam; Nenek Rabiyah memjadi raja di Bukit Saguntang, gunung Kuaran, dan Durian Dipatuk Rajo. Dikenal pula oleh masyarakat Pariaman(Sumatera Barat), kalau Nenek Rabiyah punya suami bernama Orang Koto Tujuh.

8.     Perperangan Kepalo Barau
Beberapa tahun setelah Nenek Robiyah menjadi dewa, M. Syukur mengadakan pesta pernikahan cucunya dan konon katanya ia telah menyebar undangan hingga ke Aek Hitam. Akan tetapi saat memasak kejadian yang  pernah terjadi pada Tais juga terulang pada M. Syukur, makanan terasa tidak lemak.
Teringat apa yang pernah dilakukan Tais sebelumnya, M. Syukur segera memerintah beberapa orang untuk menjemput Kepalo Barau ke rumah Tais, lalu ketika sampai mereka hanya mendapatkan berita kalau Kepalo Barau telah hancur. Cukup enteng alasan yang diberikan Tais, karena orang yang merendam Kepalo Barau terakhir kalinya terlalu lama, makanya bisa hancur.
Meski makanan terasa tak lemak, karena tak ada Kepalo Barau. M. Syukur tetap meneruskan pernikahan cucunya hingga selesai. Tak lama setelah pernikahan berlangsung M. Syukur lalu memanggil Tais datang ke rumahnya untuk membicarakan masalah Kepalo Barau, karena bagi M. Syukur itu adalah salah satu pusaka yang masih tersisa dari ayah mereka. Menanggapi masalah tersebut, Tais hanya bisa berujar, kalau sekarang ia tak ada penggantinya.
Sontak saja M. Syukur naik pitam dan menginginkan ada peperangan di antara mereka. Tais yang juga terlanjur emosi menerima tantangan yang diberikan. Sebelum M. Syukur sampai di seberang Tais telah menyiapkan parit untuk aliran darah ke Sungai Batanghari.
Sesampainya M. Syukur dan dubalang-dubalangnya di seberang parit mereka membuat kesepakatan, kalau pasukan Tais tidak boleh lari ke hilir dan pasukan M. Syukur tidak juga boleh lari ke hulu. Terjadi peperangan berkecamuk dengan sangat dahsyat selama kira-kira 6-7 hari dan dubalang-dubalang Tais berjatuhan mati, sedangkan M. Syukur menyisakan banyak dubalang yang hidup. Menurut cerita, M. Syukur  mendapat bantuan dari para dewa yaitu Dewa Gunung Kuwaran, Dewa Bukit Seguntang, Dewa Sialang Belantuk Besi, dan Dewa Durian Dipakok Rajo. Yang mana daerah-daerah ini menjadi pembatas dengan daerah Padang.
Pertempuran berdarah tersebut berhasil dimenangkan pasukan M. Syukur. Ia kembali ke  Napal Belang dan mencoba menata kembali perkampungannya dengan memperluas perumahan hingga ke bagian hilir. Sampai saat ini masih tampak jelas bekas lobang yang dibuat sebagai patokan bila ada masyarakatnya mau membuat rumah.
Penataan kampung berjalan dengan baik, maka M. Syukur segera memanggil pemuka adat, nenek-mamak, cerdik-pandai untuk mengganti nama Dusun Duo. M. Syukur mengatakan sudah tak mungkin memakai nama Dusun Duo, karena Batu Ampar yang pernah didiami Tais kini telah tak berpenghuni, mereka pindah mengungsi ke bagian hilir. Dan ditemukan sebuah kesepakatan kalau nama Dusun Duo dihapus dan diganti dengan nama Desa Tuo Ilir.  
Kondisi dan suasana terkini dari Desa Tuo Ilir. 28/08/16

II.  Kesimpulan

Kami menurut perintah dari Allah
Kaji di dalam adat
Kalau ado kato-kato di dalam piagam kami yang salah
Kami harap minta maaf

Disenggol layu, diangau putus, berenas setingkel masak setandan. Tentang di adat tidak kami kapok lagi, tetapi tetap adat kami setempat. (Seloka Jambi)

Walau mungkin cerita ini tak lebih dari sebatas legenda atau dongeng, akan tetapi ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik. Di antaranya adalah sebagai berikut;
1.     Dari Raden Ketek Pendekar Halus, kita bisa belajar kalau tidak boleh menyerah sebelum peperangan, juga tak usah menghiraukan apa yang dikatakan orang tentang kita. Maju terus!
2.     Raden Ketek Pendekar Halus seolah juga memberi penegasan kalau kita telah berhasil atau sukses, maka kita tidak boleh sombong, melainkan tetap selalu rendah diri.
3.     Terhitung ada 5 kali pergantian nama desa kita hingga akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo Ilir. Dari nama-nama itu dimaksudkan untuk menyesuaikan keadaan yang ada pada saat itu dan dari sini kita bisa belajar kalau nama itu adalah doa. Buatlah nama yang baik untuk anak-anak kita, karena diharapkan ia bisa bercermin pada nama tersebut.
4.  Cerita ini juga mengajarkan kepada kita supaya bermusyawarah atau rapat terlebih dahulu, sebelum memutuskan sesuatu. Tampak dari penggantian nama-nama desa, hingga permasalahan Kepalo Barau.
5.  Nenek Robiyah mengajarkan kita untuk berani memilih, jika benar sesuatu yang kita pilih berangkat dari hati dan nyaman untuk kita jalankan, maka kita harus berani memperjuangkannya. Nenek Robiyah mesti menyelam tombak dari Napal Belang ke Batu Ampar hingga balik lagi ke Napal Belang, kemudian ia disuruh memasak ikan yang ada di tombak dan hal yang terbarat adalah ia mesti meninggalkan abang-abangnya, desanya, bahkan kehidupan dunia.
6.     Di dalam cerita ini terlihat jelas kalau nenek-moyang kita berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Ya! bisa benar, bisa juga tidak. Pemikirian bodohku, setidaknya cerita ini bertujuan supaya antara kita dan masyarakat Minang tidak terpecah belah dan terwujud sikap saling menyanyangi, maka dibuatlah cerita ini.
Selain itu ada beberapa fakta yang bisa kita lihat dari cerita ini;
1.  Pantun yang pernah diucapkan Nenek Robiyah sebelum ia menjadi dewa yaitu; Ambil daun buganti daun/Daun dilipat di atas dampar/Habis tahun buganti tahun/Dusun iko panjangnyo melampaui Batu Ampar. Pantun ini terbukti pada tahun 2012 ini, Desa Tuo Ilir kini telah melewati Batu Ampar.
2.  Keturunan Alim Mukmin yang menetap di Teluk Rendah, tak terbantahkan kalau memang memiliki masyarakat yang alim sesuai namanya, bahkan Desa Teluk Rendah dijuluki Serambi Mekkah. Sedangkan Palimo Amin yang memiliki keturunan di Desa Tuo Ilir lebih temperament dan mudah emosi, mungkin juga dari namanya Palimo yang bisa berarti Panglima.
Demikianlah sedikit pemaknaan yang bisa saya ambil dari cerita ini. Dan Anda yang membacanya saya yakin bisa menemukan pelajaran yang lebih banyak lagi dari cerita ini. Semoga bermamfaat!

 
 "Pemuka Adat sekaligus sejarawan Desa Tuo Ilir yang bernama Pak Tamin. Fhoto ini diambil di kediaman beliau pada tanggal 5 September 2012"

Kamis, 25 Agustus 2016

Owalah!...Ternyata Ini Loh Suku-Suku Asli Tebo

JPC- Hey!...Sudah pada tahu belom suku-suku apa saja yang pertama kali mendiami Kabupaten Tebo? Adakah suku kamu di antaranya? Tapi jangan disalahartikan sebagai perbedaan yang berujung pada perpecahan ya, melainkan bisa menambah semangat persatuan dan menaburkan rasa cinta kita kepada Bumi "Seentak Galah Serengkuh Dayung" ini .

Yuk! kita cari tahu melalui tulisan di bawah ini :

Bpk Drs. Fahrudin Saudagar mengatakan, bahwa dalam perkembangan Suku Melayu di  Jambi, dikenal Suku Bangsa Duabelas (XII) yang diyakini sebagai cikal bakal penduduk pada masa Kesultanan Tanah Melayu Jambi.  Di pedalaman Jambi masih banyak masyarakat yang mengetahui dengan jelas silsilah keturunan mereka secara lengkap berdasarkan Seloko Adat atau Kebar yang masih dapat dihapal. Dusun atau Pemukiman Kuno Suku Melayu dari Suku Bangsa Duabelas (XII) yang berada di Wilayah Muara Tebo atau dapat juga disebut penduduk asli Muara Tebo, di antaranya adalah:

1.      Kelompok Suku VII Koto dan IX Koto :

Pusatnya di Sungai Abang, kemudian pindah di Kampug Baru, Solok Sipin. Tugasnya adalah mengepalai angkatan perang dan bergelar Temenggung. Menurut Kajian dan Analisa Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan Suku VII Koto dan IX Koto adalah keturunan Sunan Pulau Johor dengan gelar Paku Negoro. Sunan Pulau Johor ini berasal dari Pagaruyung, ibunya masih bersaudara dengan Puteri Pinang Masak.

a.      Suku VII Koto meliputi: Suko Beramai, Suko Berajo, Tabrau Panjang, Dusun Tuo, Sago, Pasir Mayang, Teluk Cempako, Pulau Musang, Tabun, Dusun Baru, Sungai Duo, Aur Cino, Teluk Kayu Putih, Kuamang, Tanjung Samalidu, Tantan, Bangso, Malapari, dan Bungin Petar dan pusatnya ada di Nirah Sungai Abang. 

b.      Suku IX Koto meliputi: Sungai Rambai, Pagar Puding, Jambu, Rambahan, Rautau Langkap, Tanjung Aur, Pemuatan, Muara Danau, Sialang Kecik, Pulau Temiang, Pulau, Kebung, dan Teluk Kuali.

2.      Kelompok Suku Petajin :

Pemimpinya Pasirah, bergelar Lurah atau Penghulu Muda. Tugasnya adalah mengepalai urusan pembangungan kerajaan. Sedangkan pusatnya di Betung Bedarah. Suku Petajin termasuk dalam keturunan Orang Kayo Kedataran yang diberi gelar Setio Guno. Kelompok Suku Petajen ini mendiami dusun-dusun seperti; Teluk Rendah, Dusun Tuo, Peninjauan, Betung Bedarah, dan Sungai Aro.

3.      Kelompok Suku Muaro Sebo :

Pimpinannya bergelar Kedemang yaitu mengepalai bidang keamanan dalam negeri dan pusatnya di Kembang Sari. Suku ini dari keturunan Sunan Kembangsari, gelar Wira Sandika. Kelompok ini bermukim di Sungai Bengkal, Dusun Kembang Sari, Sakumbang, Dusun Bungin, Solok, Kubu Kandang, Pelayangan, Rambutan Masam, Sengketi Kecil, Sungai Ruan, Teluk Bingkar, Sungai Rengas, Pulau Kesab, Rengas Sembilan, Teluk Leban.

Jadi sekarang sudah ngerti kan, khususnya bagi kamu yang hidup di bumi Seentak Galah Seengkuh Dayung. Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan suatu kelompok atau suku tertentu apalagi untuk merendahkan.  Akan tetapi sebagai khasanah pembelajaran buat kita untuk tetap mencintai sejarah. Salam Cinta Tebo!

Sumber: H. Adanhuri Mukti & Gaman Sakti, S. S, Sejarah Kabupaten Tebo. 2008






Selasa, 16 Agustus 2016

Wisata Aek Panas Sei. Bengkal

JPC- Tebo memiliki destinasi wisata terbaru yang terletak di Dusun Aek Panas Kelurahan Sei. Bengkal Kec. Tebo Ilir. Andai Anda menempuh perjalanan darat jaraknya amatlah dekat dari Pasar Sei. Bengkal yaitu hanya sekitar 500m atau 45 km dari pusat Kota Tebo. Wisata alam ini bisa dikatakan sangat menarik dan unik, karena menyuguhkan air panas, yang tentunya sangat cocok bagi semua orang yang ingin merileksasikan otot-otot yang tegang. Ditambah lagi pemandangan nan hijau siap memanjakan mata Anda. Bagi Anda yang belum pernah merasakan mandi dengan sensasi air panas alam, tidak ada salahnya Anda mencoba wisata satu ini. Namun wisata ini masih perlu perhatian khusus dan pengembangan lebih lanjut oleh PEMDA Kab. Tebo, jika ingin semakin dikenal dan menarik banyak wisatawan, seperti wisata Air Panas Semurup di Kabupaten Kerinci. Berikut potret wisata yang diambil pada Sabtu (13/08/16) yang bisa Anda lihat.