Aku
Ingin, SEGERA!
Jarum
jam seakan menegurku tuk berhenti memerhatikannya
Aku
lihat ada kesal teramat dalam yang dibahasakan suaranya
tapi, sungguh
kali
ini aku ingin detik segera menggapai menit, lalu menarik jam hingga berlari
menuju hari
Aku
ingin segera berlayar di lautan rindu tak bertepi
bersama
orang-orang yang kucintai
Aku
ingin segera menumpahkan gelora rindu
di
balik dawai kasih-sayang ibu
..........
Ramadhan
Aku
di sini tuk ada di sana
segera
bawa aku
Yogyakarta,
8 Agustus 2012 M/20 Ramadhan 1433 H
Puisi
di atas adalah sebuah peraduan rindu dan penepian penantian kepada kedua orangtua dan
juga saudara-saudaraku. Pada bulan puasa 1433 H kali ini, aku baru bisa bersua wajah-wajah
mereka saat Ramadhan merangkak pergi menuju tangga ke-24. Ini bukan kali
pertama bagiku merasakan semua ini, setelah sebelumnya aku juga menghiasi keistimewaan bulan
Ramadhan jauh dari mereka, bahkan di Hari Idul Fitri-nya ku tak berada bersama mereka.
Aku
menempuh perjalanan 2 hari 2 malam untuk sampai di Jambi, setelah itu ada 4
sampai 5 jam lagi untuk bisa menginjakkan kaki di depan rumah. Hingga pada
akhirnya aku memutuskan tuk istirahat sebentar di tempat temanku, di Muaro
Jambi. Keesokan harinya, sesuai rencana aku akan dijemput oleh kakak iparku
dengan menggunakan mobil sederhana.
Kelam
tampak telah menyatu bersama malam, bintang-bintang seolah berjejer membentuk
formasi kekuatan dan juga kudengar senandung shalawat saling mengakrabi dengan
shalat taraweh. Tepat pukul 08.30 WIB
aku tiba di depan rumah dengan pakaian rapi
dan wewangian melingkupi tubuhku, berjalan gagah dan senyum bergelora.
Di sana kusaksikan selatsa wajah dari Ebakku yang tampak keriput, matanya juga tampak kabur, badannya yang mulai membungkuk, tangannya yang kulihat tremor dan sering mengeluh pusing. Ya! Hipertensi semakin hari semakin ingin bersahabat dengannya, bahkan semakin ingin membawa shahabat-shahabatnya tuk sekedar lewat, nongkrong atau memang tinggal di dalam tubuh Ebakku.
Di sana kusaksikan selatsa wajah dari Ebakku yang tampak keriput, matanya juga tampak kabur, badannya yang mulai membungkuk, tangannya yang kulihat tremor dan sering mengeluh pusing. Ya! Hipertensi semakin hari semakin ingin bersahabat dengannya, bahkan semakin ingin membawa shahabat-shahabatnya tuk sekedar lewat, nongkrong atau memang tinggal di dalam tubuh Ebakku.
Di
sebelah Ebak kulihat ada seorang wanita tua dengan baju yang tampak lusuh.
Seingatku baju itu sudah ada sejak aku duduk di bangku MTS. Dia juga
menyarungkan sehelai kain yang tampak sobek di bagian ujungnya dan mengenakan
sandal jepit. Dari dekat semakin jelas kulihat mukanya yang pucat dan badannya tampak
sangat kurus. Dia adalah Emakku. Di tengah-tengah semua yang kulihat
aku masih bisa merasakan sambutan penuh kehangatan dari keduanya.
Semua
belum berakhir begitu saja. Tepat Hari Raya Idul Fitri yang ketiga aku merasakan
pilu di antara kenangan masa lalu orangtuaku. Aku berjumpa dengan abang-abang
dan ayukku melalui untaian Surat Yasin yang dibacakan di samping batu nisan
mereka. Mereka yang selalu kucinta, walau sekalipun tak pernah bertatap mata
tersebut adalah, abangku Musmul Yadi yang meninggal di usianya menginjak 5
bulan, abangku Rudi Hidayat di usianya 3 bulan, kedua kakak kembarku yang meninggal
dalam kandungan, dan terakhir adalah ayukku Ratna Dewi juga ikut menyusul
menggoreskan nama di batu nisan saat usianya berjalan 5 tahun.
Kini
hanya aku dan ayukku Ramaita yang diharapkan bisa menjadi peretasan masa depan
kedua orangtuaku. Akan tetapi sebagai wanita yang kini sudah memiliki anak tiga,
langkah kakinya semakin terbatas tuk menghapus kenangan lama serta membawa mimpi-mimpi
mereka.
Kalau
sampai waktuku, aku ingin pulang dengan semua penantian emak, ebak, abang dan ayukku.
Yogyakarta, 16 Seftember 2012
Inilah ketiga makam saudara-saudaraku. Dari mulai yang paling depan
adalah Musmul Yadi (5 bulan), tengah-tengah adalah Ratna Dewi (5 tahun)
dan yang paling ujung adalah Rudi Hidayat (3 bulan).