SIKAPUR SIRIH
Assalamu’alaikum Wr. Wb
JPC- Kini
iko sayo indak mencubo membongkar teras nan terendam, menghidupkan jugo ranting
nan mati. Mano nan lapuk indak diperbaharui, mano nan usang indak diperbaiki.
Patah pual tumbuh jalupung, patah kayu tunas buganti. Maknapuh di ujung
tanjung, mati sikok buganti sikok. Kito belum mengopak adat; pandang pinang
sudah pongkak, pandang kelapo sudah gayut. Gagak lagi hitam, kuntul lagi putih,
sudah basundut idak barubah di atas tempat. (Seloka Jambi)
Cerita
ini menurut temboh nan batembih, piagam
nan batambung, undang nan baundi; Pertama,
temboh ialah cerita yang dituliskan oleh nenek moyang dahulu di kertas
sebagai penentu asal-usul kita, kedua,
tembih yaitu mendengar cerita dari nenek
moyang dahulu. Dan ketiga dinamakan piagam,
yaitu untuk menentukan batas daerah, batas di dalam kampung, batas di dalam
rumah, dan batas dalam menentukan antara adat dan syara’.
Dalam tulisan ini saya memcoba memaparkan asal-usul
kejadian desa saya tercinta, Desa Tuo Ilir. Desa yang lebih populer dengan
sebutan Dusun Tuo ini diapit oleh dua desa, yaitu DesaTeluk Rendah dan Desa Peninjauan.
Dinamakan Desa Peninjauan karena dulu pernah dijadikan oleh kompeni Belanda
untuk meninjau segala aktivitas masyarakat ketika mereka keluar dari Sungai Muara Tabir.
Selain itu desa tanah kelahiranku ini juga menjadi tapal batas antara Kabupaten
Tebo dan Kabupaten Batanghari yang ada di Provinsi Jambi. Desa yang
diperkirakan telah ada sejak tahun 1575 ini, kini telah dihuni kurang lebih 1300
KK(Kepala Keluarga).
Pemukiman
warganya berada di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Di ujung hilir seberang desa ini terdapat muara dari Sungai Muaro Tabir dan tak jauh
dari seberang desa ini pula terdapat hutan rimba yang sampai saat ini masih
menjadi rumah bagi Suku Anak Dalam alias Kubu. Walau memang saat ini hutan
telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan karet, tetapi mereka masih
tetap setia bernaung di dalamya.
Hampir
keseluruhan masyarakatnya mengantungkan hidup dari sektor pertanian, sedangkan
sisanya menjadi pedagang dan pegawai. Cerita yang ada di hadapan Anda sekarang
ini didapat dari penuturan secara lisan seorang pemuka adat bernama Pak Tamin yang ada
di Desa Tuo Ilir.
Cerita
ini bisa saja sebuah legenda atau dongeng yang coba dibuat-buat, namun bisa
juga sebuah kisah nyata yang benar-benar terjadi di Desa Tuo Ilir. Hingga saat
ini setidaknya ada beberapa jejak
peninggalan peristiwa yang masih bisa kita temukan, yaitu 6 dari 7 makam anak
dari keturunan Palimo Amin. Palimo Amin sendiri adalah orang yang pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Desa Tuo Ilir, sedangkan anak beliau yang paling
bungsu konon katanya masih hidup hingga sekarang, hal ini dikarenakan
permintaan darinya untuk menjadi dewa.
Cerita
kedewaan dari anak Palimo Amin yang bernama Nenek Rabiya ini berkembang bukan
hanya di Desa Tuo Ilir, akan tetapi juga
melegenda ke masyarakat Pariaman (Sumatera Barat), bahkan beberapa orang
masyarakat Bukit Tinggi(Sumatera Barat). Selain itu senjata pusaka
seperti
tombak yang digunakan Rd. Ketek Pendekar Halus untuk membunuh Beruk
Berayun-baru beberapa tahun belakangan ini sudah tak terlihat dan masih banyak lagi bukti-bukti peninggalan
lain yang bisa jadi mendukung kebenaran cerita ini.
Demikian
sedikit kata yang dapat saya sampaikan. Semoga cerita di bawah ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi kita semua, terlebih lagi buat masyarakat Desa Tuo
Ilir agar senantiasa tidak melupakan sejarah yang telah membentuk perkampungan istimewah ini-
bagi kita untuk menyambung hidup, meniti asa serta merajut persaudaraan.
Selamat membaca!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
I. ASAL-USUL KEJADIAN DESA TUO ILIR
Pada
zaman dahulu kala tersebutlah di seberang hilir Desa Teluk Rendah atau seberang
hulu Desa Tuo Ilir sekarang terdapat
sebuah Sungai Kembang Bungo yang mana telah berdiri 5 buah rumah di sana. Di
dalam temboh menyebutkan, kalau orang
yang ada di situ adalah Alim Mukmin.
A.
Alim
Mukmin dan Palimo Amin
Pada
suatu hari Palimo Amin melayarkan perahu di Sungai Kembang Bungo dan seketika itu dia melihat ada pemukiman
Alim Mukmin. Maka pada akhirnya dia pun singgah dan menemui seorang yang
bernama Alim Mukmin tersebut
“Oh, Tuk! Boleh tidak sayo numpang
munginap malam ini di sini?”. Kata Palimo Amin
“Lah! apo salahnya. Kamu ini
berasal dari mano?”. Jawabnya
“Sayo ini berasal dari Minang Kabau”.
Jawab
Palimo Amin kembali
“Woi! Ambo orang Minang Kabau jugo.
Kamu mencari makan di siko sajo”. Tawar Alim Mukmin
Palimo Amin menerima tawaran Alim
Mukmin untuk tinggal bersama-sama dengannya. Namun beberapa hari setelah itu
Alim Mukmin menyampaikan keinginannya kepada Palimo Amin.
“Besok
ambo mau mencari tanah untuk berkebun. Kau mau mencari tanah di mano?”. Kata
Alim Mukmin
“Aku
mau mencari teluk yang tinggi(Sekarang dikenal dengan Napal Belang)”.
Palimo Amin
“Kalau
aku teluk yang rendah sajo”. Jawab Alim Mukmin
B.
Dari
nama Taratak, Padokoh, Koto Damingger, Dusun Duo, hingga Desa Tuo Ilir
Begitu
banyak nama yang pernah melekat pada desa yang kini lebih dikenal dengan nama
Desa Tuo Ilir. Nama-nama yang diambil bukan tanpa beralasan, akan tetapi atas
dasar peralihan kebiasaan sehari-hari sampai dengan kondisi geografis yang telah
berubah dan berkembang pada saat itu. Berikut adalah nama-nama yang pernah ada
sebelum akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo Ilir:
1. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan tanaman sayurannya
Mulai pada hari itu juga mereka
berpisah dan menuju lokasi yang dimaksud. Alim Mukmin mulai menyambung hidup
dengan berkebun sayur-sayuran, seperti bayam, singkong, katu, dll di teluk yang
rendah tersebut(Sekarang tempat itu tepat di masjid Teluk Rendah Seberang
Bagian Hulu dan di atas rumah guru Zahari).
Dari
sana Alim Mukmin berinisiatif untuk menamai tempat yang dia diami saat itu dengan
sebutan Taratak. Sedangkan Palimo Amin yang memilih tinggal di teluk yang
tinggi(Napal Belang) juga melakukan hal yang sama. Dia berkebun sayur-sayuran
dan juga menyebut tempat tinggalnya dengan nama Taratak.
2. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan kebun kelapa, durian, dan dukunya
Seiring berjalannya waktu, mereka
kembali sama-sama memamfaati lahan yang mereka tempati dengan berkebun. Namun kali
ini mereka menanam kelapa, duku, dan durian di tanahnya masing-masing. Tumbuhan-tumbuhan
itu pun kini tumbuh tinggi menjulang, daun-daunya juga mampu memberi kesejukan
dari terpaan sinar mentari, buah-buahnya melengkapi rasa manis kehidupan yang
mereka rasakan serta akar-akarnya yang mampu mengikat tanah untuk tidak
memisahkan diri dari tempatnya.
Berawal
dari tanaman yang bersifat bulanan hingga berpindah ke tanaman menahun, dari
sana pula Alim Mukmin dan Palimo Amin
kembali mengganti nama Taratak dengan sebutan Padokoh.
3. Alim
Mukmin dan Palimo Amin dengan musholla dan pegawai adatnya
Kedua
tempat tinggal yang didiami Alim Mukmin dan Palimo Amin semakin hari semakin ramai dan berkembang. Hingga berdirilah di sana sebuah musholla
sebagai tempat untuk bersatu, yaitu menyatu dengan Allah melalui kekhusu’an
shalat dan juga antarsesama masyarakat dalam sentuhan silaturrahmi.
Terbentuk
pula pegawai adat yang mampu mengurus tempat tinggal mereka. Semua bentuk
perselisihan dan kesalahpahaman mereka putuskan dengan keadilan, lalu mereka
juga mampu mengurus keretakan dalam rumah tangga dengan olesan percintaan.
Perubahan nama desa kembali dilakukan Alim Mukmin dan juga Palimo Amin. Alim
Mukmin dengan nama Teluk Rendah, sedangkan Palimo Amin mengantinya dengan Koto
Damingger.
Sei.
Bengkal yang sekarang menjadi kecamatan
kedua desa ini dulu bernama Renah Tanjung Dibungo. Dahulu katanya pernah
ada Datuk Manurai Besi dan isterinya Mekcinai Lewat yang tinggal di dalamnya.
Konon katanya Mekcinai berasal dari pintu langit yaitu, babenak diampo kaki, bajiwo diujung kuku. Dia adalah anak dari
Datuk Sai Panjang Janggut. Dan sebelum Teluk Rendah sekarang, dulu juga ada
namanya Gunung Bungsu.
4. Palimo
Mukmin dan Anak-anaknya
Baik
Alim Mukmin ataupun Palimo Amin kini
telah sama-sama memiliki anak-anak yang besar dan mulai berkeluarga. Palimo
Amin memiliki 6 orang anak laki-laki dan hanya satu anak perempuan. Dari mulai
anak yang paling sulung hingga paling
bungsu ia beri nama; Kemuneng, Tais, M. Syukur, Tanglung, Rd. Ketek
Pendekar Halus alias Darah Putih, dan anak keenam yang makamnya berada di Muaro
Bernai masih coba diingat-ingat namanya. Sedangkan anaknya yang terakhir bernama Nenek Rabiyah.
Disebutkan
bahwa salah satu dari anak Palimo Amin yang bernama Tais memilih tinggal ke seberang
(Sekarang dikenal dengan Batu Ampar), tempat tinggal yang didiami Tais juga berkembang sangat cepat, bahkan terdapat
masjid dan pegawai adat seperti yang ditempati ayanya dan saudara-saudaranya di
Napal Belang.
Melihat
perkembangan dari Napal Belang dan Batu Ampar yang semakin pesat, Palimo Amin,
Tais, dan saudara-saudaranya yang lain melakukan rapat untuk mengganti nama tempat
tinggal mereka. Diputuskan dalam rapat tersebut Koto Damingger diganti pula dengan nama Dusun Duo. Sedangkan Alim
Mukmin tetap menggunakan nama Teluk Rendah.
5. Kepalo
Barau
Beberapa
tahun kemudian Tais yang tinggal di Batu Ampar mengadakan resepsi pernikahan
anaknya. Dia bahkan mengundang orang-orang hingga ke Aek Hitam untuk memasak
dalam acara pernikahan tersebut. Celakanya, walau telah mengundang tukang
masak(cheef) dari Aek Hitam masakan mereka tetap terasa tidak lemak.
Tais
sebagai salah satu orang bertanggung jawab dengan keadaan itu meminta untuk
dijemput Kepalo Barau ke seberang(Napal Belang). Kepalo Barau sendiri diyakini
bisa untuk melemakkan masakan. Setelah Kepalo Barau tersebut dimasukan dalam
masakan, ternyata masakan yang mereka buat berubah menjadi lemak. Namun mereka lalai
untuk menjaga Kepalo Barau, karena saat mereka memasukkan Kepalo Barau yang
kedua belas kalinya mereka tak lagi mengeluarkannya dari masakan yang sedang
mendidih tersebut, akhirnya Kepalo Barau itu hancur.
6. Raden
Ketek Pendekar Halus dan Beruk Berayun
Kepalo
Barau yang tadinya hancur saat pernikahan anak Tais memang belum menjadi
permasalahan di antara warga-warga Napal Belang dan Batu Ampar. Akan tetapi
permasalahan justru lebih dulu datang
dari orang-orang Pematang Limau
dan Pematang Taboh. Pematang Limau dan Pematang Taboh yang kini lebih dikenal
dengan Kejasong ini, dulu katanya sangat ramai sekali orang yang melewatinya.
Bahkan saking ramainya saat ada yang membentangkan kulit kerbau di jalannya
saja, tak lama berselang kulit itu menjadi tipis karena pijakan kaki.
Sewaktu
itu orang-orang Pematang Limau dan Pematang Taboh dikacaukan oleh ulah seekor
Beruk Barayun saat berjalan menuju ke Aek Hitam dan menurut penuturan mereka
telah ada 99 orang yang menjadi korban keganasan Beruk Berayun ini.
Mereka
menemui Palimo Amin dan dubalang-dubalang yang ada di Dusun Duo atau lebih
tepatnya di Napal Belang untuk membunuh Beruk Berayun yang begitu banyak
mengakhiri hidup warga-warganya. Palimo Amin yang saat itu diharapkan untuk
menyelesaikan masalah tak tahunya lagi
sedang mengalami sakit.
Di
saat keputusasaan dan kepasrahan mulai hinggap dalam harapan warga-warga yang
datang ke rumah Palimo Amin. Radek Ketek Pendekar Halus, yaitu anak Palimo Amin
yang kelima yang baru berusia 3,5 tahun menawarkan diri mengganti ayahnya untuk
membunuh Beruk Berayun yang terkenal begitu ganas tersebut.
Palimo
Amin yang sedang terbaring sakit tidak
mampu menolak niat baik yang diminta anaknya. Dia cuma menawarkan keris,
tombak, dan pedang untuk menjadi kekuatan. Akan tetapi selain berbekal doa
restu Raden Ketek Pendekar Halus hanya meminta pada ayahnya pedang, dulang, dan
7 buah pisang. Selain itu ia juga meminta pada ibunya untuk ditanami selaseh di
halaman rumah. Tujuannya adalah; “kalau tanaman selaseh itu layu berarti ia
sakit, kalau tanaman selasehnya sehat berarti ia juga sehat dan bila tanaman
selasehnya mati berarti saat itu ia juga mati”.
Keesokan
harinya Raden Ketek berangkat menuju Pematang Limau dan Pematang Taboh. Di sana
ia berjumpa begitu banyak orang yang
bertanya perihal kedatangannya dan tak jarang pula mereka meragukan kemampuaan
yang dimilikinya.
“Apa kau kulup yang mau membunuh
Beruk Berayun yang ado di siko?” Tanya seorang warga.
“Aih tidak, Tuk!... Sayo cuma mau
melihat-lihat sajo. Dak mau membunuh dak”. Jawab Raden Ketek
seraya menundukkan kepala.
“Di kaki kau itu banyak nian pacat,
Lup!” Tanya ia kembali
Menanggapi
pertanyaan di atas Raden Ketek mengambil pedangnya, lalu membunuh pacat-pacat
yang melekat di betisnya. Alangkah kagetnya orang tesrsebut, ketika melihat
darah yang menetes dari betis Raden Ketek Pendekar Halus berwarna putih.
Semenjak kejadian itu pula orang Pematang Limau dan Pematang Taboh mengenalnya
dengan sebutan Si Darah Putih.
Raden Ketek Pendekar Halus terus meneruskan
langkahnya . Saat di tengah perjalanan ia kembali bertemu seorang warga dan
menanyakan hal yang sama.
“Apo kau kulup yang mau membunuh Beruk Berayun?.
Jangan kulup cobo kau tengok datuk membelah bambu mayang enam ruas ko hanya
dengan tangan, alangkah itu tidak berani melawan Beruk Berayun. Lah! apo lagi
kau budak kecik, nanti kau cumo jadi kotoran dio sajo”. Sambung
ia pula
“ Idak lah, Tuk! Sayo cumo mau
nengok-nengok sajo”. Jawabnya sembari tersenyum dan diikuti
dengan merunduk.
Raden
Ketek Pendekar Halus sedikit pun tak pernah gentar untuk bertemu Beruk Berayun.
Ia berencana untuk terlebih dahulu mampir di rumah Kepala Desa Pematang Limau.
Namun sebelum sampai di sana seorang warga kembali menegurnya.
“Apo kau kulup yang membunuh Beruk
Berayun?. Jangan kulup datuk ko Palimo di Pematang Limau, cobo pulo kau tengok
datuk mengupas kelapo ini hanyo dengan tangan kosong sajo. Alangkah itu dak
berani membunuhnyo”.
“Idak lah, Tuk! Sayo cumo mau
nengok sajo. Dak mau membunuh dak”. Jawab Raden Ketek
Pendekar Halus dengan kata sama dan juga sikap yang sama.
Sebelum
sinar mentari seutunya tenggelam dalam gumpalan awan-awan putih dan kelam
datang menyapa Raden Ketek telah sampai di teras rumah Kepala Desa. Warga-warga
pun berdatangan melihat anak mungil yang katanya bakalan menghentikan
keperkasaan Beruk Berayun di desa mereka.
“Kau ko berapo umurnyo, Lup?”.Tanya
salah satu warga yang hadir
“Umur sayo 3,5 tahun. Sayo cumo mau nengok-nengok Beruk Berayun
sajo. Dak mau membunuhnyo dak”.
Jawabnya merendah diri
Pagi
harinya, saat di mana terang tampak sudah tak lagi menyisakan ruang tuk
kelam. Tepat sehabis sarapan pagi Raden Ketek Pendekar Halus berangkat menuju
lokasi keberadaan Beruk Rayun dengan ditemani beberapa warga. Setelah sekian
lama berjalan, kira-kira jarum jam bergeser ke titik 12 ia sampai di tujuan.
Sedangkan beberapa warga yang tadinya ikut hanya mengantar sampai perbatasan
hutan.
Kedatangannya
seolah sudah ditunggu-tunggu. Sang Beruk Berayun langung berpijak di akar-akar
yang merambat pada pepohonan. Raden Ketek Pendekar Halus yang mengetahui
kehadiran Beruk Berayun, segera menyiapkan dulang dan memposisikan di atas
kepalanya. Beruk Berayun yang ingin sesegera mungkin membunuh langsung
menancapkan tombak di ubun-ubun kepalanya. Akan tetapi tombak tersebut hanya
menghantam dulang, sedangkan kepala Raden Ketek Pendekar Halus tak tergores
luka sedikit pun.
Dia
lalu mencabut tombak dari dulang, menurut Piagam;
sampai setengah lutut kaki Raden Ketek Pendekar Halus masuk ke tanah untuk
mencabut tombak tersebut. Setelah tombak berhasil ia lepas, ia lalu mengambil
pisang dalam uncang(tas kecil) dan ditusukkan ke ujung tombak. Pisang yang kini
lengket di tombak disodorkan ke Beruk Berayun, tanpa tersadar si Raden Ketek
Pendekar Halus hendak mencelekainya, ia lalu mengambil pisang tersebut. Namun
begitu pisang diambil Sang Beruk Berayun pada uluran yang kedua, Si Raden Ketek
lalu dengan tangkas menusukkan tombak tepat di dadanya. Beruk Berayun jatuh dan
akhirnya mati.
Beruk
Berayun terkapar di tanah dengan dada tertancap tombak. Darah Putih alias Raden
Ketek Pendekar Halus lalu mengambil senjata terakhirnya yaitu pedang untuk
mengambil telinga dan ekor si Beruk Berayun dan dimasukkan ke dalam uncang,
sedangkan kepalanya digantung pada pohon sebekal. Menurut cerita kebanyakan
orang, pohon itu melengkung menahan beban dari kepala Beruk Berayun. Dan
menurut Piagam sendiri; tak kurang
dari 45 kg berat dari kepala Beruk Berayun tersebut.
Siang
itu pohon-pohon tampak seolah berdiri gagah, mentari bersinar dengan bangga,
kicauan burung bernyanyi ria serta diikuti hembusan angin nan manja. Anak
mungil 3,5 tahun ini lalu balik menuju ke Pematang Limau. Sesampai di sana ia
disambut dengan berbagai pertanyaan.
“Apo kabar, Lup? Mati dak Beruk
Berayunnyo?”. Tanya mereka serentak
“Yo dak lah! Sayo cumo
nengok-nengok sajo ke sano ”
“Dak tu memang ngota nian
dubalang-dubalang tadi, katonyo kau bakalan membunuh Beruk Berayun itu”.
Jawab salah seorang kakek seraya tersenyum sinis
“Tapi sayo ado iko Tuk bawa telingo
dan ekor Beruk Berayun. Nah! Iko dio barangnyo”. Jawab
Raden Ketek Pendekar Halus sambil memperlihatkan barang yang kini ada di
tangannya.
Sontak
saja si kakek tua diam membisu dan tertunduk malu, tak terkecuali setiap orang
yang hadir di tempat itu tampak seolah tak percaya menyaksikan kehebatan si
Raden Ketek Pendekar Halus. Kepala Desa yang juga duduk di antara warga-warga
lalu meminta kepadanya untuk tinggal sementara selama seminggu di Pematang
Limau, setelah itu baru diizini pulang ke Dusun Duo.
Sebaliknya
Palimo Amin yang berada di Dusun Duo terus menyimpan berjuta keresahan terhadap
keselamatan Raden Ketek Pendekar Halus. Di tengah lamunan dia teringat pesan
anaknya, andai ingin mengetahui kondisi anaknya apa dalam keadaan sehat, sakit,
ataupun mati, maka ia bisa melihat kondisi selaseh yang ditanam di depan
halaman rumah. Dan alangkah bahagianya Palimo Amin ketika mengetahui tanaman
selaseh dalam keadaan sehat.
7.
Nenek Rabiyah Menjadi Dewa
Tak
lama berselang setelah kejadian pembunuhan Beruk Berayun oleh Raden Ketek Pendekar Halus.
Kini masalah justru datang di tengah keluarga Palimo Amin sendiri. Nenek
Rabiyah yang merupakan anak bungsu sekaligus putri satu-satunya kerap kali
menunjukkan perilaku yang aneh. Hingga sampai pada suatu ketika perilaku itu
menarik perhatian Kemuneng sebagai kakak tertua untuk bertanya.
“Kau ini kenapo Rabiyah masak nasi
dak mau? Dari tadi kuperhatikan kau jugo main bungo sajo terus. Apo kau memang
mau menjadi dewo yo?”. Tanya Kemuneng dengan sedikit agak
serius
“Kalau kini iko, Bang! Sayo memang
dak nian menjadi dewo” Jawab Nenek Rabiyah seolah telah
menunggu sekian lama pertanyaan ini
“Yo lah! Kalau memang macam itu mau
kau. Nah! besok senin iko boleh abang antar kau ke Payoh Membek(Sekarang dikenal
dengan Lebak Takar)”. Kemuneng mencoba untuk memberi jalan
kepada Nenek Rabiyah
“Kalau macam itu kato abang, yo
basenglah!” Ia menimpali seraya membayangkan diri
telah menjadi dewa
“Kalau kau mau menjadi dewa nian,
Dik! Hari senin depan abang akan buang tombak iko ke Lubuk Napal Belang. Bilo
kau biso ngambil tombaknyo, kau baru biso kami izini menjadi dewa”.
Sambung Raden Ketek Pendekar Halus memecah ketegangan antara keduanya
Hari
senin kini telah tiba. Sesuai kesepakatan Raden Ketek Pendekar Halus berdiri dipinggir tebing
ditemani abang-abangnya yang lain untuk membuang tombak ke Lubuk Napal Belang,
sedangkan Nenek Rabiyah juga tampak bersiap-siap untuk segera melompat begitu
tombak itu meluncur menembus air. Dengan dandanan rapi dan pakaian yang indah
Nenek Rabiyah melompat dari tebing. Dia menyelam mengikuti tombak di Lubuk
Napal Belang dan timbul di Batu Ampar, lalu ia menyelam berbalik arah dengan tombak yang telah dipenuhi udang.
Dia
kembali ke rumah menemui abang-abangnya. Dan dengan bangga menunjukkan tombak
yang kini ada di genggamannya.
“Ini bang tombak yang abang lempar
lah penuh dengan udang”. Ia memerlihatkan ke hadapan
abang-abangnya
“Kini iko dik masak lah dulu udang
itu. Kami mau makan perbuatan kau untuk yang terakhir kalinyo”.
Kemuneng mencoba tuk menguasai diri tuk menahan kesedihan
Sontak
saja mendengar ucapan Kemuneng seperti itu ia bergegas melakukannya. Setelah
memasak ia menuju ke Tebing Napal Belang
dan menyuarakan beberapa buah pantun untuk melukiskan kegembiraan sekaligus
kesedihannya.
Manyalak
sarang elang
Tajuluk
ular sawo
Tinggallah
teluk Napal Belang
Rabiyah
ndak menjadi dewo
Menebang
batang seredang
Rebah
ke tepi payoh
Tinggallah
olak nak gedang
Rabiyah
iko ndak menjadi dewo
Pucuk
kankung di tengah laman
Anak
ikan di dalam paringgi
Tinggallah
kampung tinggallah halaman
Tinggal
tepian tempat mandi
Pantun-pantun
itu kini telah bertebaran menyusuri peraduan kenangannya masing-masing. Rabiyah
lalu naik ke rumah dan makan. Kemudian Kemuneng sebagai kakak tertua yang
menggantikan ayahnya Palimo Amin berucap.
“Jadi kini, Dik! Kalau kau mau
menjadi dewa nian, bersiap-siaplah boleh abang antar ke darat”. Seakan
ada sesak yang teramat berat baginya tuk merelakan adik perempuan satu-satunya.
“Aku mau menjadi dewa, abang-abang
tinggallah di rumah yo”. Ia berkata seolah sudah tak ada
kesedihan lagi, seperti apa yang dirasakan abang-abangnya karena harus berpisah
darinya tuk selamanya.
Pada
hari itu semua ikut mengantarnya,
kecuali Tais. Ketika berada di
balik rumah, Rabiyah berpantun sambil
memegang bunga-bunga nan cantik pujaannya.
Kini
iko basenglah menanam mumbang
Kalau
tumbuh tuah negeri
tingggallah
kau kembang
Rabiyah
dak akan datang lagi
Tak
sampai di situ. Nenek Rabiyah juga mendekati bunga-bunga lain yang tumbuh agak jauh di
belakang rumahnya. Ia lagi-lagi berpantun.
Ambil
daun buganti daun
Daun
dilipat di atas dampar
Habis
tahun buganti tahun
Dusun
iko panjangnyo melampaui Batu Ampar
Berselang
beberapa jam setelah itu mereka sampai di Payoh Membek. Dan kemuneng
menyampaikan sebuah kata terakhir mewakili keharuan saudara-saudaranya yang
lain. “Kalau kau mau menjadi dewa nian
Rabiyah, yo jadi dewalah. Kami semuo iko dak balik ke rumah lah”. Dan hanya lewat anggukan kepala dari Nenek
Rabiyah, mereka hari itu berpisah.
Pada
malam harinya kelima abangnya berada dalam kegelisahan, kedua kelopak bola mata
mereka sama-sama sulit tuk terpejam, mereka terbayang si adik tersayang.
Kemuneng lalu mendiskusikan masalah ini pada adik-adiknya yang lain.
“Abang dak biso tidur semalam
mengenang adik kito Rabiyah” Kemuneng mengawali
pembicaraannya
“Kalau macam itu, Bang! Besok
sehabis sarapan pagi kito turut dio pulo ke darat”.
Jawab Raden Ketek Pendekar Halus.
Keesokan
paginya mereka berusaha bersama-sama menemukan adiknya. Dan alangkah kagetnya
mereka, karena di tempat itu mereka tak lagi menjumpai siapapun. Secercah
harapan seakan hadir, ketika tiba-tiba terdengar oleh mereka suara Nenek
Rabiyah memanggil. Seakan tak mau kehilangan kesempatan kedua kalinya, maka
Raden Ketek Pendekar Halus segera mencari sumber suara tersebut.
“Di siko kau yo, Dik! Turunlah dik
dari atas itu, ikutlah dengan kami lagi. Kami iko sayang nian samo kau”. Raden Ketek Pendekar Halus tampak seolah
mengulurkan tangannya.
Dia
turun ke bawah dan berkata,“Idak bang,
Rabiyah dak bakal balik lagi”
Raden
Ketek Pendekar Halus mencabut pedangnya, lalu membelah akar-akar tuk dijadikan
buaian. Ia juga meminta kepada saudara-saudaranya yang lain untuk membelah pada
bagian ujungnya.
“Kalau macam itu kemauan kau. Kini
iko kau masuklah ke dalam buaian yang abang
buat iko nanti” Kata Si Raden Ketek Pendekar
Halus.
“Yo Bang! Sayo jugo punyo perjanjian yang
harus dipatuhi masyarakat-masyarakat yang kelak tinggal bersamo abang. Kalau di dusun kito diserang wabah penyakit,
mako cucu dan cicit kito diberi tando
gelang tiga warno dan harus memakai cincin yang terbuat dari ijuk.
“Oh yo! Bukan itu sajo, kalau ado
harimau dak boleh dibunuh, buayo dak boleh dibunuh, kalau diam di ladang, dak
boleh menggunakan pintu tikar, selain itu dak boleh membelah tunggul untuk
dijadikan kayu api. Itu lah perjanjian kito, jangan sampai ado yang menyalahinyo”.
Sambung
Nenek Rabiyah pula
Nenek
Rabiyah masuk ke dalam akar dan kira-kira dihitungan ketiga Nenek Rabiyah
sudah menghilang dari hadapan saudaranya-saudaranya. Dan mulai saat itu mereka
berpisah tuk selama-lamanya. Sedangkan kelima abangnya balik ke rumah.
Menurut
Temboh, Tembih, dan Piagam; Nenek Rabiyah memjadi raja di Bukit Saguntang,
gunung Kuaran, dan Durian Dipatuk Rajo. Dikenal pula oleh masyarakat
Pariaman(Sumatera Barat), kalau Nenek Rabiyah punya suami bernama Orang Koto Tujuh.
8.
Perperangan
Kepalo Barau
Beberapa
tahun setelah Nenek Robiyah menjadi dewa, M. Syukur mengadakan pesta pernikahan
cucunya dan konon katanya ia telah menyebar undangan hingga ke Aek Hitam. Akan
tetapi saat memasak kejadian yang pernah
terjadi pada Tais juga terulang pada M. Syukur, makanan terasa tidak lemak.
Teringat
apa yang pernah dilakukan Tais sebelumnya, M. Syukur segera memerintah beberapa
orang untuk menjemput Kepalo Barau ke rumah Tais, lalu ketika sampai mereka
hanya mendapatkan berita kalau Kepalo Barau telah hancur. Cukup enteng alasan
yang diberikan Tais, karena orang yang merendam Kepalo Barau terakhir kalinya
terlalu lama, makanya bisa hancur.
Meski
makanan terasa tak lemak, karena tak ada Kepalo Barau. M. Syukur tetap
meneruskan pernikahan cucunya hingga selesai. Tak lama setelah pernikahan
berlangsung M. Syukur lalu memanggil Tais datang ke rumahnya untuk membicarakan
masalah Kepalo Barau, karena bagi M. Syukur itu adalah salah satu pusaka yang
masih tersisa dari ayah mereka. Menanggapi masalah tersebut, Tais hanya bisa
berujar, kalau sekarang ia tak ada penggantinya.
Sontak
saja M. Syukur naik pitam dan menginginkan ada peperangan di antara mereka.
Tais yang juga terlanjur emosi menerima tantangan yang diberikan. Sebelum M.
Syukur sampai di seberang Tais telah menyiapkan parit untuk aliran darah ke
Sungai Batanghari.
Sesampainya
M. Syukur dan dubalang-dubalangnya di seberang parit mereka membuat
kesepakatan, kalau pasukan Tais tidak boleh lari ke hilir dan pasukan M. Syukur
tidak juga boleh lari ke hulu. Terjadi peperangan berkecamuk dengan sangat
dahsyat selama kira-kira 6-7 hari dan dubalang-dubalang Tais berjatuhan mati,
sedangkan M. Syukur menyisakan banyak dubalang yang hidup. Menurut cerita, M.
Syukur mendapat bantuan dari para dewa
yaitu Dewa Gunung Kuwaran, Dewa Bukit Seguntang, Dewa Sialang Belantuk Besi, dan
Dewa Durian Dipakok Rajo. Yang mana daerah-daerah ini menjadi pembatas dengan
daerah Padang.
Pertempuran
berdarah tersebut berhasil dimenangkan pasukan M. Syukur. Ia kembali ke Napal Belang dan mencoba menata kembali
perkampungannya dengan memperluas perumahan hingga ke bagian hilir. Sampai saat
ini masih tampak jelas bekas lobang yang dibuat sebagai patokan bila ada
masyarakatnya mau membuat rumah.
Penataan
kampung berjalan dengan baik, maka M. Syukur segera memanggil pemuka adat,
nenek-mamak, cerdik-pandai untuk mengganti nama Dusun Duo. M. Syukur mengatakan
sudah tak mungkin memakai nama Dusun Duo, karena Batu Ampar yang pernah didiami
Tais kini telah tak berpenghuni, mereka pindah mengungsi ke bagian hilir. Dan
ditemukan sebuah kesepakatan kalau nama Dusun Duo dihapus dan diganti dengan
nama Desa Tuo Ilir.
Kondisi dan suasana terkini dari Desa Tuo Ilir. 28/08/16
II. Kesimpulan
Kami menurut perintah dari Allah
Kaji di dalam adat
Kalau ado kato-kato di dalam piagam
kami yang salah
Kami harap minta maaf
Disenggol
layu, diangau putus, berenas setingkel masak setandan. Tentang di adat tidak
kami kapok lagi, tetapi tetap adat kami setempat. (Seloka Jambi)
Walau
mungkin cerita ini tak lebih dari sebatas legenda atau dongeng, akan tetapi ada
beberapa pelajaran yang bisa kita petik. Di antaranya adalah sebagai berikut;
1. Dari
Raden Ketek Pendekar Halus, kita bisa belajar kalau tidak boleh menyerah
sebelum peperangan, juga tak usah menghiraukan apa yang dikatakan orang tentang
kita. Maju terus!
2. Raden
Ketek Pendekar Halus seolah juga memberi penegasan kalau kita telah berhasil
atau sukses, maka kita tidak boleh sombong, melainkan tetap selalu rendah diri.
3. Terhitung
ada 5 kali pergantian nama desa kita hingga akhirnya ditetapkan nama Desa Tuo
Ilir. Dari nama-nama itu dimaksudkan untuk menyesuaikan keadaan yang ada pada
saat itu dan dari sini kita bisa belajar kalau nama itu adalah doa. Buatlah
nama yang baik untuk anak-anak kita, karena diharapkan ia bisa bercermin pada
nama tersebut.
4. Cerita
ini juga mengajarkan kepada kita supaya bermusyawarah atau rapat terlebih
dahulu, sebelum memutuskan sesuatu. Tampak dari penggantian nama-nama desa,
hingga permasalahan Kepalo Barau.
5. Nenek
Robiyah mengajarkan kita untuk berani memilih, jika benar sesuatu yang kita
pilih berangkat dari hati dan nyaman untuk kita jalankan, maka kita harus
berani memperjuangkannya. Nenek Robiyah mesti menyelam tombak dari Napal Belang
ke Batu Ampar hingga balik lagi ke Napal Belang, kemudian ia disuruh memasak
ikan yang ada di tombak dan hal yang terbarat adalah ia mesti meninggalkan
abang-abangnya, desanya, bahkan kehidupan dunia.
6. Di
dalam cerita ini terlihat jelas kalau nenek-moyang kita berasal dari
Minangkabau, Sumatera Barat. Ya! bisa benar, bisa juga tidak. Pemikirian
bodohku, setidaknya cerita ini bertujuan supaya antara kita dan masyarakat
Minang tidak terpecah belah dan terwujud sikap saling menyanyangi, maka
dibuatlah cerita ini.
Selain
itu ada beberapa fakta yang bisa kita lihat dari cerita ini;
1. Pantun
yang pernah diucapkan Nenek Robiyah sebelum ia menjadi dewa yaitu; Ambil daun
buganti daun/Daun dilipat di atas dampar/Habis tahun buganti tahun/Dusun iko
panjangnyo melampaui Batu Ampar. Pantun ini terbukti pada tahun 2012 ini, Desa
Tuo Ilir kini telah melewati Batu Ampar.
2. Keturunan Alim Mukmin yang menetap di
Teluk Rendah, tak terbantahkan kalau memang memiliki masyarakat yang alim
sesuai namanya, bahkan Desa Teluk Rendah dijuluki Serambi Mekkah. Sedangkan
Palimo Amin yang memiliki keturunan di Desa Tuo Ilir lebih temperament dan
mudah emosi, mungkin juga dari namanya Palimo yang bisa berarti Panglima.
Demikianlah
sedikit pemaknaan yang bisa saya ambil dari cerita ini. Dan Anda yang
membacanya saya yakin bisa menemukan pelajaran yang lebih banyak lagi dari
cerita ini. Semoga bermamfaat!
"Pemuka
Adat sekaligus sejarawan Desa Tuo Ilir yang bernama Pak Tamin. Fhoto
ini diambil di kediaman beliau pada tanggal 5 September 2012"